"Teteh... Ibu batuk-batuk, terus keluar darah," teriak adikku, Eneng, tergopoh-gopoh berlari kearahku.
Tadinya aku berniat bermain bersama teman-teman sebagai pelipur lara di hari pertama puasa. Namun aku batalkan karena khawatir dengan keadaan ibu. Aku dan Eneng berlari menyusuri pematangan sawah menuju rumah.
“Astagfirullah… Ibu, ibu kenapa? Sakit?”
“IIIH udah tau sakit, pake nanya lagi! Udah cepet bawa ibu ke puskesmas.”
“Kita punya uang berapa?”
Eneng bergegas mengambil dompet ibu. Hanya ada selembar uang Rp. 5.000,-; dua lembar uang Rp. 1.000,- dan uang receh yang tak seberapa jumlahnya.
“Segini cukup gak teh?”
“Mana cukup! Itu kan uang buat buka puasa. Udah kamu jualan sapu lidi dulu sana, biar teteh yang jaga ibu.”
“Kaki eneng masih sakit Teteeeh, ih! Udah Teteh aja yang jualan, biar Eneng yang jaga ibu.”
“Ssssstt sudah jangan bertengkar. Ibu gak kenapa-napa kok,” kata ibuku yang sedang berbaring di kasur.
Eneng menatapku dengan penuh harap. Harapan agar aku mau berjualan sapu lidi. Aku memalingkan muka. Ia terus mengemis tanpa berkata-kata. Raut wajahnya semakin mengkhawatirkan saja. Kali ini bibirnya agak manyun.
“Ya udah, biar Eneng aja yang jualan,” kata Eneng menyerah.
“Nak jangan, kaki Eneng kan masih sakit. Sudahlah ibu gak kenapa-napa,” kata ibuku, mencegah Eneng untuk berjualan.
Huftt... Ya sudahlah, aku putuskan untuk mengambil beberapa ikat sapu lidi tanpa berkata-kata. Cuma jualan sapu lidi, apa susahnya sih? Aku pasti bisa. Bismillah… Ku langkahkan kakiku keluar rumah.
“Hati-hati ya Tetehku tersayang,” rayu Eneng. Sekilas senyuman tersungging diwajahnya. Tulus, tapi tetap saja menyebalkan karena ia memenangkan ‘pertarungan’. Kemarin, Eneng menginjak pecahan beling. Belingnya menusuk telapak kakiknya cukup dalam. Hwala… Kakinya infeksi.
Kata-kata adikku tadi lumayan mendinginkan panas hatiku, tapi tak dapat mendinginkan panasnya hari ini. Hussh.. Ayo semangat!
***
“Sapu lidi… Sapu lidi… Bersih-bersih kebun… Bersih-bersih rumah…”
“Heh Ni! Ngapain sih teriak-teriak segala, berisik tau gak!”
“Rano mau beli sapu lidi? Beli yaaa,” balasku seakan-akan tak menanggapi kata-kata Rano tadi.
“Hah? Gue gak salah denger? Lo jadi penjual sapu lidi sekarang? Hahaha,” ucap Rano diiringi tawa yang mengejek. Berlebihan sekali tawanya, sampai terpingkal-pingkal begitu. Memegang perutnya dengan rasa geli. Menyebalkan.
Dengan ini aku deklarasikan, aku menyesal menawarinya untuk membeli sapu lidi. Wajahku merah padam. Mataku mendelik. Aku palingkan wajahku dan terus berjalan. Ingin rasanya aku menumpahkan segala kesal dihati. Rano memang menyebalkan, ia merasa dirinya paling pantas dihormati hanya karena dia anak seorang juragan di kampung ini. Astagfirullah… Jangan sampai pahala puasaku surut gara-gara emosiku yang tak terkendali.
Sungguh aku malu harus berjualan seperti ini. Apalagi sampai ada yang mencibir. Tak hanya malu yang harus aku tahan, tetapi aku juga harus menahan lapar, dahaga dan emosi. Pokoknya 50% dari hasil jualan ini akan aku ambil untuk keperluanku sendiri. Aku kan sudah bersusah payah berjualan keliling kampung. Aku hanya ingin seperti teman-teman yang lain. Punya baju yang bagus, handphone yang canggih, rumah yang layak untuk ditinggali, kasur yang empuk untuk tidur dan makan enak setiap hari. Ah mimpi..
***
Tak terasa, Ramadhan sudah memasuki hari ke-6. Uang hasil jualanku tak sebanyak yang biasa ibu dapatkan. Kiriman ayah bulan ini belum juga sampai. Akhirnya aku memutuskan untuk membunuh si Jago, celenganku. Isi perut si Jago cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami selama seminggu ini.
“Nak, bangun… Ayo kita makan sahur.”
Aku segera terbangun dan membangunkan adik-adikku. Aku bergegas menuju ruang makan yang merangkap ruang tamu. Disana ada rendang, sayur asem, ikan asin, lalab dan sebakul nasi. Mereka bersanding dengan teko berisi air teh tawar dan beberapa gelas kaca -hadiah dari sabun cuci piring-.
“Alhamdulillah hari ini kita bisa makan enak, itu semua Bu Ros yang kasih. Jika kalian bertemu Bu Ros, jangan segan-segan untuk mengucapkan terima kasih ya,” ujar ibuku dengan lembut.
“Asiiik!” Aku kan sudah berjualan dari kemarin. Jadi aku layak dong mengambil makanan sebanyak-banyaknya. Terlalu latah aku makan. Seakan terlupa dengan ibuku yang sedang sakit.
“Ibu sudah makan?”
“Ibu sudah makan sebelum membangunkan kalian”
“Benar ibu sudah makan?” mencoba menepis kerguan dalam benakku.
“Sudah nak, ayo segera habiskan makanannya. Sebentar lagi imsak” Ujar ibuku dengan penuh kasih sayang.
Setelah shalat Subuh berjama’ah, kami tadarusan dan membaca Al-Ma'tsurat. Satu hal yang tak boleh kami lupakan sebelum memulai aktivitas. Begitulah kata ayahku sebelum ia pergi merantau.
***
“Sapu lidi… Sapu lidi… Bersih-bersih kebun… Sapu lidi…”
Sudah belasan RT aku singgahi, tapi aku belum dapat sepeserpun hari ini. Mang Abdul pun tidak membeli sapu lidi.
"Sapu yang kemarin belum terjual neng. Jadi Mang Abdul gak beli sapu lidinya dulu ya."
Padahal hanya beliaulah satu-satunya harapanku. Biasanya Mang Abdul membeli sapu dari ibuku, kemudian ia jual kembali sapu lidi itu bersama peralatan rumah tangga lainnya. Mobil bak terbuka yang berusia kira-kira 10 tahun itu setia menemaninya berjualan di setiap sudut kota.
Aku tak boleh menyerah. Bagaimana aku, ibu dan adik-adik bisa makan kalau aku tak dapat uang? Uang dari celenganku lama kelamaan pasti akan habis.
“Sapu lidi… Sapu lidi… Bersih-bersih rumah… Sapu lidi…”
Urat leherku semakin meronta. Kering bagai di padang pasir. Ingin rasanya aku pulang ke rumah saja. “Keseeel! Kenapa sih gak ada yang beli sapu lidiku? Ya iyalah, ngapain juga beli sapu lidi. Orang-orang kan sudah pada punya,” omelku dalam hati.
Astagfirullah, setan-setan itu berhasil membuatku gusar kembali. Aku tak boleh kalah dengan hawa nafsuku. Aku putuskan untuk berhenti sejenak di mushola Al-Ikhlas. Suara gemercik air yang beberapa jam ini aku rindukan. Sebentar lagi aku akan mendapatkannya. Aku putar keran dihadapanku. Ku kendalikan debit air itu agar tidak terlalu banyak keluar. Ku basuh kedua tanganku dengan membaca basmallah dan mulai membasuhnya ke anggota wudhu sebari berdo’a dalam hati. Ya Allah, terima kasih hamba dapat berbicara dengan normal, ampuni mulut hamba yang pernah membentak, menggunjing dan pernah berkata kasar. Ya Allah, terima kasih Engkau telah anugrahkan hamba penciuman yang normal. Ya Allah, ampuni semua dosa dari wajah hamba, ampuni penglihatan hamba yang pernah menatap lawan jenis dan pernah membiarkan kemungkaran terjadi. Ampuni mata ini yang jarang menangis karena-Mu ya Rabb. Ya Allah, terima kasih Engkau telah berikan hamba sepasang tangan yang normal sehingga hamba bisa menjalani aktivitas. Ya Allah, ampuni pikiran-pikiran kotor yang keluar dari kepala hamba, ampuni jika kuping hamba sering hamba gunakan untuk mendengar gibah. Sehatkan pikiran hamba, sehatkan pendengaran hamba. Ya Allah, terima kasih Engkau telah memberi hamba sepasang kaki yang normal. Ampuni hamba jika kaki ini pernah melangkah ke tempat yang tak kau ridhoi. Setelah selesai berwudhu, aku tegakkan sholat Dhuha agar hati ini benar-benar sejuk.
Rasanya aku tak ingin meninggalkan mushola, tapi aku harus tetap berjualan. Siang itu, Matahari menjalankan titah Tuhannya. Menerangi Bumi dengan sinarnya. Menguji setiap insan yang sedang berpuasa dihari itu dengan teriknya.
"Sapu lidi... Ayooo beli sapu lidi... Yang sudah punya beli lagi saja… hehe."
Bltakk!!!
Aww…
Suatu benda berat dan keras mendarat di pelipis kiriku.
“Rasain lo! Udah gue bilang jangan lewat rumah gue kalau lo mau jualan! Dasar tukang sapu lidi! Hahaha,” ujar Rano diiringi dengan tawa jahatnya.
Aku terjatuh. Benjol atau berdarah ya? Sakit sekali. Sesegera mungkin aku kuasai diriku agar tidak pingsan walau pandanganku mulai berkunang-kunang. Aku lupa, seharusnya aku tidak melewati rumah Rano. Melihatku merintih kesakitan, Rano langsung kabur.
Mataku ikut bersimpati atas apa yang menimpa pelipisku. Titik demi titik air menetes seiring rasa sakit dan pusing yang semakin menjadi. Tanganku tak tinggal diam. Ia menunjukan rasa simpatinya dengan cara mengelus-elus pelipis kiri yang sakit.
“Astagfirullah Ni, kamu gak kenapa-napa?" Mawar menghampiriku dan membantuku membawa sapu lidi.
“Ini pasti ulahnya si Rano. Grrrr Rano! Jahat banget sih,” kata Mawar. Ia membawaku ke rumahnya yang berada tepat di depan rumah Rano.
“Ni, pelipismu berdarah, kita obatin dulu ya."
“Ibuuu…!” teriak Mawar dengan rasa cemas.
“Ada apa nak? Kok teriak-teriak begitu,” ujar Bu Ros dari kejauhan. Suaranya kian membesar, pertanda ia mendekat.
“Kepala Ani luka bu…”
“Astagfirullah, kenapa bisa sampai begini nak? Ini pasti benturannya keras sekali,” ucap Bu Ros dengan segala rasa simpatinya.
“Rano bu! Dia tuh isengnya keterlaluan!”
“Sini ibu obatin dulu.”
Ia membersihkan lukaku menggunakan sapu tangan yang direndam air panas. Setelah bersih ia meneteskan betadine pada lukaku. Kemudian ditutupi dengan kain perban. Ia sangat terampil dalam mengobati luka. Bu Ros sudah seperti seorang dokter serbaguna di desa kami. Segala jenis penyakit berobat ke Bu Ros, padahal sebenarnya ia hanya seorang bidan. Setelah mengobati lukaku, Bu Ros mengajak aku dan Mawar berbincang-bincang. Dari mulai mengapa aku berjualan sampai masalah pelemparan batu. Tak lupa aku selipkan ucapan terima kasih atas makanan yang ia
sumbangkan untuk sahur keluargaku pagi tadi.
“Nak, yang sabar ya. Hidup itu memang tak mudah. Cobaan akan datang silih berganti. Tapi cobaan itu akan membuatmu semakin dewasa menghadapi berbagai masalah.”
Aku sering mendengar kata-kata itu, tapi aku tak paham apa maksudnya. Aku hanya tersenyum tipis pertanda menghargai apa yang telah beliau sampaikan. Tubuhku hanya menyisakan beberapa ATP (satuan energi yang dihasilkan sel tubuh) saja. Lemas sekali.
“Begini nak, kamu tahu tidak bahwa arang dan permata itu terbuat dari unsur yang sama?” lanjut Bu Ros seakan mengetahui isi hatiku.
“Yang benar saja, mereka kan berbeda jauh. Bagaimana bisa bu?” ucap Mawar dengan antusias. Aku hanya terdiam membisu.
“Arang dan permata itu sama-sama terbuat dari unsur karbon. Cara mendapatkan arang yaitu dengan cara memanaskan kayu, tulang, atau benda lain. Mudah bukan? Tetapi arang itu hitam, ringan dan mudah hancur.
Berbeda dengan permata. Ia sulit didapat. Sebelum ia menjadi kristal, ia melewati beberapa terjangan suhu yang ekstrim. Ia tidak ditemukan kecuali di kedalaman Bumi, tempat dimana orang jarang meliriknya. Setelah ditemukan, ia tak bisa langsung dijual, ia harus diolah lagi. Tahukah kalian apa yang membuat permata itu harganya jauh lebih mahal daripada arang? Terjangan suhu ekstrim itulah yang membuat permata semakin berharga. Ditambah lagi dengan proses pengolahan yang tidak mudah. Lihatlah permata bisa memantulkan cahaya yang datang dengan sempurna, sedangkan arang takkan bisa melakukannya. Permata itu keras, berat dan tidak mudah rapuh.
Nah, Ani dan Mawar harus seperti permata. Meskipun sering diejek, dicaci-maki kalian harus tetep kuat. Udah deh biarkan semua orang yang menghina kalian. Anggap saja cacian itu suhu ekstrim atau proses pengolahan yang membuat kalian semakin kuat dan semakin berharga. Permata itu mahal kan? Betul tidak?
Lihatlah manusia yang jarang mendapat cobaan hidup, begitu ia mendapat pukulan, ia rapuh seperti arang. Berbeda dengan manusia yang sering mendapat cobaan hidup, begitu ia mendapat pukulan, ia tak rapuh dan tetap tegar berdiri seperti permata. Bahkan ia masih bisa memantulkan cahaya untuk orang-orang disekitarnya. Maka, bersyukurlah kalian yang masih mendapat cobaan hidup. Itu artinya Allah ingin kalian menjadi lebih kuat.
Jadi itulah anak-anakku, sesuatu yang berharga tak didapat melalui proses yang mudah." Penjelasan itu setidaknya dapat mengisi kembali tank semangatku. Aku dan Mawar menganggukkan kepala.
Bayangan ibu terus berkelebat di pikiranku. Semua yang Bu Ros sampaikan membuat aku teringat pada ibuku.
"Bu Ros... Mawar... Ani pamit pulang ya. Terima kasih atas bantuannya. Assalamu'alaikum..."
“Buru-buru amat Ni? Wa’alaikumsalam,” balas Mawar yang menatapku berlalu dihadapannya.
Aku malu pada diriku sendiri. Aku yang baru beberapa hari berjualan saja sudah banyak mengeluh, sedangkan ibuku yang telah bertahun-tahun berjualan tak pernah mengeluh. Ia tetap semangat dan tak pernah menyerah. Aku yang 6 hari ini mengorbankan waktuku untuk keluarga, sedangkan ibuku telah bertahun-tahun mengorbankan hidupnya untuk keluarga. Kerutan di wajahnya menjadi saksi bisu betapa banyak cobaan yang datang menghampirinya. Mungkin lemparan batu dan cibiran orang tadi tak sebanding dengan cacian yang diterima ibuku selama betahun-tahun.
Ya Allah, hamba mohon izinkanlah hamba bertemu ibu. Selamatkan hamba sampai ke rumah. Sampaikan usia ibu saat hamba sampai ke rumah. Aku takut kalau aku sampai ke rumah ibu sudah tidak ada. Ya Allah hanya Engkaulah yang tau kapan seseorang tutup usia. Bukan aku menghendaki itu semua terjadi. Bukan. Aku hanya takut, keputusan-Nya jatuh sebelum aku pulang. Jika Dia telah menghendaki, apapun bisa terjadi dalam hitungan sepersekian sekon. Begitu aku menemui ibuku aku harus memohon maaf padanya.
Ibu engkaulah permata yang tak lelah memancarkan indah sinarnya
Permata yang selalu memantulkan kasih sayangnya dengan sempurna kepada keempat buah hatinya
Ibu engkau begitu tangguh walau cobaan menerpa tak kenal henti
Ibu, mungkin mereka takkan bisa melihat betapa luar biasanya dirimu
Kini ananda mengerti, kini ananda paham
Maafkan anakmu yang tak tahu diri ini
Ibu, kau adalah anugrah terindah dalam hidupku
Ibu… Aku mencintaimu
Aku berlabuh dipelukan ibuku. Kehangatan yang takkan pernah bisa terganti walaupun oleh hangatnya sinar mentari. Tangan mulianya membelaiku. Butir-butir cinta membasahi wajah cantiknya.
Jum'at, 7 Ramadhan 1433 HLomba Cerpen Serambi FHUISebenernya cerpennya masih rada acak-acakan dan banyak kalimat yang gak koheren satu sama lain. Jadi, mohon koreksinya ya hehe
bener hei, masih banyak kalimat yg acak2an dan ga koheren
BalasHapusmaklum lah, namanya juga manusia
sering2 berlatih aja
visit and follow www.rendiabd.blogspot.com